I'll post it finally, this is second part of our backpacker journey. Just check it out guys.
Kira-kira sekitar Dhuhur kami memutuskan untuk kembali menapaki jalan backpacker kami, hehe... Sebelumnya kami mengenyangkan perut a.k.a sarapan pagi di rumah sodaranya Vidy. Eh, udah gitu ya pas mau berangkat sodaranya ngasi kami permen kopi sebungkus dan woops.... salam tempel (yeah, for real, haha.. how lucky), dengan judul ‘buat jajan’ berjumlah seratus ribu. Maaan, seratus ribu tu jajan bakso sampe muak bisa kali ye... Kita dalam perjalanan menuju stasiun Wonokromo tu sampe mikirin, beli kerupuk bisa dapet satu truk dengan uang seratus ribu itu.
Lalu sampailah kita bertiga di stasiun Wonokromo dengan peluh. Well, Surabaya ternyata terhitung negeri yang sangat panas bagi kami yang bermukim di dusun Jatinangor ini. Dan inilah kesalahan gue yang terbesar yaitu dengan memakai kaos hitam. Hmm... gimana enggak, pakaian yang gue bawa hampir semua hitam, dan isi lemari pakaian gue juga hitam semua, kekeke.. Nah pemirsa, sangatlah dianjurkan bagi anda untuk tidak menggunakan pakaian hitam di tempat panas seperti Surabaya ini.
Begitu fenomenalnya udara panas di Surabaya ini menyebabkan kita menyesal tidak membawa kipas lipat (cuma Vidy doang yang bawa). Alhasil kita kipasan seadanya dengan bungkus entah apa yang berhasil kami temukan di dalam tas kami. Kemudian, sesuatu menarik perhatian gue. Tampak oleh sudut mata gue sepertinya semua orang memperhatikan gerak-gerik-heboh-kepanasan kami bertiga. Gue mulai menyadari sesuatu, mereka tidak merasa kepanasan walaupun peluh bersimbah, bahkan mereka BIASA AJA duong. Hah... gue aja kayak udah mau mati rasanya (okei, lebay mode : on).
Yayaya... bagaimana tidak, mereka kan penduduk ASELI jadi wajar lah mereka nggak kepanasan karena udah biasa hidup di negeri panas ini. Mereka dengan tampang biasa aja berjalan santai menuju loket, berjualan, ngglesor di lantai menunggu loket penjualan tiket kereta tujuan mereka buka, dan lain-lain.
Setelah melihat-lihat jadwal keberangkatan kereta menuju Banyuwangi yang ternyata jam setengah 3, kami pun ikutan ngaso-ngaso di lantai bareng calon penumpang lain. Mengapa eh mengapa? Hal ini dikarenakan loketnya baru buka sekitar 1-1,5 jam sebelum jam keberangkatan, hueh... lamonyo... Awalnya kita ngaso agak jauh dari loket, namun setelah memperhitungkan (dengan sedikit pikiran licik) agar lebih cepat kami memutuskan untuk ngaso-ngaso di depan loket (yak, benar-benar di depan loket lho). Salah satu keuntungannya adalah ternyata di dalam loketnya (di tempat si penjual tiketnya itu lho) ber-AC, jadi udara-udara sejuk itu pun kami undang untuk menghampiri kami melalui lubang-lubang kecil di jendela loket. Hadoh... segitunya ya usaha mau ngadem.
Loket buka sekitar jam setengah dua kurang dan mulailah antrian berdiri berdesak-desakan karena nggak cuma loket kami saja yang baru buka, loket yang lain pun juga ikut buka. Tiket ini pun meloloskan kami ke dalam peron dan kembali duduk menunggu. Setelah selesai sholat di mushola sekitar peron kami pun merasa sangat bosan dan menghentikan kegiatan mati gaya tersebut dengan foto-foto. Gyahay, kapan lagi coba foto di stasiun keramat nan panas ini. Kegiatan ini memang sangat tidak dianjurkan karena mendadak anda akan menjadi pusat perhatian semua orang termasuk di dalamnya copet. Namun begitu, kegiatan ini sungguh efektif untuk membunuh waktu anda yang membosankan, hehehe..
Then, si penjaga mengumumkan kereta Sri Tanjung menuju ke Banyuwangi akan segera tiba. Mulailah kami memikitkan cara untuk dapat duduk nyaman sampai Banyuwangi sana. Begitu kereta tiba, kami sang calon penumpang dengan sigap menghambur ke setiap pintu dan mengesampingkan rasa kemanusiaan kami, tidak peduli bahwa penumpang yang ingin turun di stasiun Wonokromo belum turun. Argh... gila parakh lah pokoknya. Gue baru sadar ternyata ada ibu-ibu paruh baya yang mau turun berdiri di samping gue. Dia terdorong oleh arus manusia dari arah gue. Tampaknya teman-teman gue lebih gesit dari gue untuk nyari duduk dan gue tertinggallah di belakang. Namun sayangnya, hanya ada 2 tempat duduk. Dengan modal muka melas 2 tempat duduk itu kami jadikan tempat yang nyaman untuk duduk bertiga. Yaaa, begitulah kereta ekonomi. Welcome to the jungle once again.
Dalam perjalanan memakai kereta ekonomi kali ini, bertemulah kami dengan ibu-ibu di seberang kursi kami yang dengan panik merogoh setiap saku pakaiannya. Sedetik kemudian dia terisak, masih merogoh kantong pakaiannya. Gue yang tentu saja mengenali tanda-tanda ini sebagai suatu musibah langsung ngomong sama Fani dan Vidy, ‘Ibu itu kecopetan kayaknya.’
Ya, benar saja. Ibu itu jadi curhat sama teman duduknya, sambil masih menangis dan merasa nggak percaya aja kalau dompetnya hilang dicopet orang. Gejala yang timbul dari orang yang habis kecopetan kalo nggak nangis begitu ya kayak gue gayanya, diam sambil menyesali kenapa menaruh barang berharga tidak pada tempat yang aman. Begitu malang ibu itu, di kantongnya hanya tersisa Rp 2000 saja, padahal dari tempatnya nanti turun dia mesti naik angkot lagi kemudian naik ojek (hasil nguping pembicaraan). Untunglah, si ibu yang jadi tempat curhatnya orang yang berada (terlihat dari gelang emas mencolok yang dipakainya) dan mau menebengi ibu itu sampai rumahnya karena dia turun di stasiun yang sama dan suaminya akan menjemputnya. Eh, by the way, it really happend, bukan cerita yang gue angkat dari sinetron lho.
Perut lapar kami isi dengan nasi ayam yang dijual di kereta. Harganya Rp 3000 dan lumayan ngeganjel bagi gue. Setelahnya, gue ngerasa pusing dan mengantuk. Berkat obat dari kotak ajaib Vidy (baca : kota P3K) gue berhasil tidur sampe di luar udah gelap sekali dan melihat makhluk-makhluk berhidung mancung kayak keturunan arab bertebaran di sekitar tempat duduk kami. Whaaaaa, jackpot sodara-sodara. Perjalanan ini mungkin tidak semembosankan kelihatannya (misi mengeceng mereka di kepala gue, mwehehehe...).
Kira-kira sekitar Dhuhur kami memutuskan untuk kembali menapaki jalan backpacker kami, hehe... Sebelumnya kami mengenyangkan perut a.k.a sarapan pagi di rumah sodaranya Vidy. Eh, udah gitu ya pas mau berangkat sodaranya ngasi kami permen kopi sebungkus dan woops.... salam tempel (yeah, for real, haha.. how lucky), dengan judul ‘buat jajan’ berjumlah seratus ribu. Maaan, seratus ribu tu jajan bakso sampe muak bisa kali ye... Kita dalam perjalanan menuju stasiun Wonokromo tu sampe mikirin, beli kerupuk bisa dapet satu truk dengan uang seratus ribu itu.
Lalu sampailah kita bertiga di stasiun Wonokromo dengan peluh. Well, Surabaya ternyata terhitung negeri yang sangat panas bagi kami yang bermukim di dusun Jatinangor ini. Dan inilah kesalahan gue yang terbesar yaitu dengan memakai kaos hitam. Hmm... gimana enggak, pakaian yang gue bawa hampir semua hitam, dan isi lemari pakaian gue juga hitam semua, kekeke.. Nah pemirsa, sangatlah dianjurkan bagi anda untuk tidak menggunakan pakaian hitam di tempat panas seperti Surabaya ini.
Begitu fenomenalnya udara panas di Surabaya ini menyebabkan kita menyesal tidak membawa kipas lipat (cuma Vidy doang yang bawa). Alhasil kita kipasan seadanya dengan bungkus entah apa yang berhasil kami temukan di dalam tas kami. Kemudian, sesuatu menarik perhatian gue. Tampak oleh sudut mata gue sepertinya semua orang memperhatikan gerak-gerik-heboh-kepanasan kami bertiga. Gue mulai menyadari sesuatu, mereka tidak merasa kepanasan walaupun peluh bersimbah, bahkan mereka BIASA AJA duong. Hah... gue aja kayak udah mau mati rasanya (okei, lebay mode : on).
Yayaya... bagaimana tidak, mereka kan penduduk ASELI jadi wajar lah mereka nggak kepanasan karena udah biasa hidup di negeri panas ini. Mereka dengan tampang biasa aja berjalan santai menuju loket, berjualan, ngglesor di lantai menunggu loket penjualan tiket kereta tujuan mereka buka, dan lain-lain.
Setelah melihat-lihat jadwal keberangkatan kereta menuju Banyuwangi yang ternyata jam setengah 3, kami pun ikutan ngaso-ngaso di lantai bareng calon penumpang lain. Mengapa eh mengapa? Hal ini dikarenakan loketnya baru buka sekitar 1-1,5 jam sebelum jam keberangkatan, hueh... lamonyo... Awalnya kita ngaso agak jauh dari loket, namun setelah memperhitungkan (dengan sedikit pikiran licik) agar lebih cepat kami memutuskan untuk ngaso-ngaso di depan loket (yak, benar-benar di depan loket lho). Salah satu keuntungannya adalah ternyata di dalam loketnya (di tempat si penjual tiketnya itu lho) ber-AC, jadi udara-udara sejuk itu pun kami undang untuk menghampiri kami melalui lubang-lubang kecil di jendela loket. Hadoh... segitunya ya usaha mau ngadem.
Loket buka sekitar jam setengah dua kurang dan mulailah antrian berdiri berdesak-desakan karena nggak cuma loket kami saja yang baru buka, loket yang lain pun juga ikut buka. Tiket ini pun meloloskan kami ke dalam peron dan kembali duduk menunggu. Setelah selesai sholat di mushola sekitar peron kami pun merasa sangat bosan dan menghentikan kegiatan mati gaya tersebut dengan foto-foto. Gyahay, kapan lagi coba foto di stasiun keramat nan panas ini. Kegiatan ini memang sangat tidak dianjurkan karena mendadak anda akan menjadi pusat perhatian semua orang termasuk di dalamnya copet. Namun begitu, kegiatan ini sungguh efektif untuk membunuh waktu anda yang membosankan, hehehe..
Then, si penjaga mengumumkan kereta Sri Tanjung menuju ke Banyuwangi akan segera tiba. Mulailah kami memikitkan cara untuk dapat duduk nyaman sampai Banyuwangi sana. Begitu kereta tiba, kami sang calon penumpang dengan sigap menghambur ke setiap pintu dan mengesampingkan rasa kemanusiaan kami, tidak peduli bahwa penumpang yang ingin turun di stasiun Wonokromo belum turun. Argh... gila parakh lah pokoknya. Gue baru sadar ternyata ada ibu-ibu paruh baya yang mau turun berdiri di samping gue. Dia terdorong oleh arus manusia dari arah gue. Tampaknya teman-teman gue lebih gesit dari gue untuk nyari duduk dan gue tertinggallah di belakang. Namun sayangnya, hanya ada 2 tempat duduk. Dengan modal muka melas 2 tempat duduk itu kami jadikan tempat yang nyaman untuk duduk bertiga. Yaaa, begitulah kereta ekonomi. Welcome to the jungle once again.
Dalam perjalanan memakai kereta ekonomi kali ini, bertemulah kami dengan ibu-ibu di seberang kursi kami yang dengan panik merogoh setiap saku pakaiannya. Sedetik kemudian dia terisak, masih merogoh kantong pakaiannya. Gue yang tentu saja mengenali tanda-tanda ini sebagai suatu musibah langsung ngomong sama Fani dan Vidy, ‘Ibu itu kecopetan kayaknya.’
Ya, benar saja. Ibu itu jadi curhat sama teman duduknya, sambil masih menangis dan merasa nggak percaya aja kalau dompetnya hilang dicopet orang. Gejala yang timbul dari orang yang habis kecopetan kalo nggak nangis begitu ya kayak gue gayanya, diam sambil menyesali kenapa menaruh barang berharga tidak pada tempat yang aman. Begitu malang ibu itu, di kantongnya hanya tersisa Rp 2000 saja, padahal dari tempatnya nanti turun dia mesti naik angkot lagi kemudian naik ojek (hasil nguping pembicaraan). Untunglah, si ibu yang jadi tempat curhatnya orang yang berada (terlihat dari gelang emas mencolok yang dipakainya) dan mau menebengi ibu itu sampai rumahnya karena dia turun di stasiun yang sama dan suaminya akan menjemputnya. Eh, by the way, it really happend, bukan cerita yang gue angkat dari sinetron lho.
Perut lapar kami isi dengan nasi ayam yang dijual di kereta. Harganya Rp 3000 dan lumayan ngeganjel bagi gue. Setelahnya, gue ngerasa pusing dan mengantuk. Berkat obat dari kotak ajaib Vidy (baca : kota P3K) gue berhasil tidur sampe di luar udah gelap sekali dan melihat makhluk-makhluk berhidung mancung kayak keturunan arab bertebaran di sekitar tempat duduk kami. Whaaaaa, jackpot sodara-sodara. Perjalanan ini mungkin tidak semembosankan kelihatannya (misi mengeceng mereka di kepala gue, mwehehehe...).
No comments:
Post a Comment